{HHRMA~Bali} ISU OUTSOURCING DI HARI BURUH
Written by lowongan kerja on 6:04 PM
ISU OUTSOURCING DI HARI BURUH
Oleh Gunawan Wicaksono
Setiap peringatan Hari Buruh 1 Mei, isu Outsourcing selalu mengemuka. Mengapa ? Karena memang harus diakui, sampai saat ini, praktek outsourcing di Indonesia masih memiliki citra yang "suram dan seram". Padahal di negara negara maju, pemanfaatan outsourcing sudah demikian mengglobal sebagai salah satu upaya perusahaan untuk lebih dapat berkosentrasi pada bisnis inti (core business) sehingga mereka lebih fokus berkosentrasi pada keunggulan produk/servis mereka. Sehingga pekerjaan yang bersifat penunjang (non core business) dapat dialihkan kepada perusahaan lain.
Namun, seorang pionir praktisi senior outsourcing di Indonesia, Komang Priambada mengatakan bahwa outsourcing di Indonesia sudah salah kaprah. Mengapa ? Karena prinsip outsourcing tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Masih banyak perusahaan di Indonesia yang beranggapan dengan menggunakan tenaga outsourcing, maka akan dapat menekan biaya tenaga kerja. Padahal hal tsb tidak benar karena fasilitas karyawan tetap dan karyawan outsourcing seharusnya sama. Bahkan perusahaan harus membayar biaya tambahan berupa management fee kepada perusahaan outsourcing. Ada pula yang beranggapan bahwa perusahaan "terbebas" dari "resiko" uang pesangon dan santunan pension bila terjadi PHK terhadap karyawan outsourcing. Sebab, status karyawan outsourcing tersebut merupakan karyawan perusahaan outsourcing. Atau beranggapan dengan penggunaan karyawan outsourcing maka perusahaan dapat mengganti dengan cepat tenaga kerja outsourcing yang dianggap tidak sesuai dengan harapan (tidak perform/tidak cakap) tanpa adanya resiko financial (mengeluarkan pesangon). Hal ini juga tidak benar. Karena ada aturan ketenagakerjaan yang ketat yang membatasi "kesewenang-wenangan" tersebut. Dengan adanya anggapan yang tidak benar tersebut, maka masih banyak terjadi praktek implementasi outsourcing yang menyimpang dari ketentuan perundangan yang berlaku.
Penyimpangan Praktek Outsourcing
Terdapat beberapa penyimpangan dalam praktek outsourcing di Indonesia. Pertama, penyimpangan yang sangat sering terjadi adalah banyaknya pekerjaan utama yang di- outsourcing -kan. Sangat banyak terjadi di lapangan bahwa satu posisi yang sama dengan job description yang sama bisa diisi oleh dua karyawan dengan status kepegawaian yang berbeda. Misal ada teller sebuah bank yang berstatus karyawan tetap, namun ada pula teller yang merupakan karyawan outsourcing. Atas kenyataan tersebut, Bank Indonesia (BI) telah merilis peraturan baru yang mengatur tentang alih daya (outsourcing). Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/25/PBI/2011 tanggal 9 Desember 2011 tentang prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain. Dalam ketentuan ini telah diatur posisi/jabatan apa saja di perbankan yang tidak boleh di- outsourcing -kan. Hanya saja, hal ini baru berlaku di bidang perbankan. Karena penegasan posisi yang boleh di- outsourcing -kan belum jelas diatur diluar bidang perbankan. UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 tidak menegaskan secara kongkret batasan suatu kegiatan dikategorikan sebagai core business (sehingga posisi/jabatan di kegiatan tersebut tidak boleh di- outsourcing-kan) dan mana kegiatan yang non core business (sehingga posisi/jabatan di kegiatan tersebut boleh di- outsourcing-kan). Informasi terakhir, juklak mengenai hal ini sedang digodok di Kementerian Tenaga Kerja dan semoga dapat dikeluarkan surat keputusannya dalam waktu dekat.
Penyimpangan kedua, terjadi di perusahaan outsourcing. Baik dalam hal belum terpenuhinya syarat bentuk badan hukum perusahaan atau belum dimilikinya ijin operasional sebagai perusahaan outsourcing. Juga dalam praktek pelaksanaan keseharian sering terjadi penyimpangan perlakuan perusahaan outsourcing terhadap karyawannya. Misal penyunatan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing, besarnya upah yang dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan belum diikutsertakannya pekerja outsourcing dalam program Jamsostek.
Penyimpangan ketiga dalam hal jaminan dan perlindungan dalam hal perjanjian kerja. Posisi pekerja outsourcing berada dalam posisi tawar yang lemah. Dalam praktek keseharian, pekerja outsourcing diikat dengan perjanjian kerja system kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Tidak heran bila ada (terjadi) pekerja outsourcing yang baru diterima memiliki kontrak kerja hanya berdurasi 3 bulan karena kontrak antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pemberi kerja juga hanya tersisa 3 bulan ke depan. Begitupula bila kontrak perusahaan outsourcing dengan perusahaan pemberi kerja telah berakhir dan si pekerja dialihkan ke perusahaan outsourcing yang lain, maka masa kerja dari pekerja outsourcing kembali dihitung dari nol tahun masa kerja.
Ketentuan Perundangan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Benarkah UU Ketenagakerjaan tidak melindungi hak hak pekerja outsourcing? Ataukah, masalahnya pada implementasi outsourcing yang tidak sesuai dengan perundangan undangan ? Bagaimana pula dengan lemahnya pengawasan dan penegakan ketentuan perundang undangan?
Bila kita kaji aturan yang mengatur tentang outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 sebenarnya sudah cukup memadai secara umum. Dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 telah mensyaratkan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (pekerja outsourcing) tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok. Konsekuensi bila ketentuan ini tidak dipenuhi maka karyawan outsourcing yang ditempatkan di Perusahan Pengguna (pemberi pekerjaan) akan menjadi Karyawan TETAP dari Perusahaan Pengguna
Juga dalam pasal 66 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 telah mensyaratkan adanya perjanjian secara tertulis antara perusahaan pengguna (pemberi pekerjaan) dengan perusahaan outsourcing yang mencantumkan perlindungan atas pekerja outsourcing sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Konsekuensi bila ketentuan ini tidak dipenuhi maka karyawan outsourcing yang ditempatkan di Perusahan Pengguna (pemberi pekerjaan) akan menjadi Karyawan TETAP dari Perusahaan Pengguna
Di dalam pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 juga mensyaratkan mengenai status badan hukum dan ijin operasional perusahaan outsourcing. Konsekuensi bila ketentuan ini tidak dipenuhi maka karyawan outsourcing yang ditempatkan di Perusahan Pengguna (pemberi pekerjaan) akan menjadi Karyawan TETAP dari Perusahaan Pengguna
Sedangkan Keputusan Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa untuk kontrak yang objek pekerjaannya tetap ada (sama), dalam kontrak kerja antara karyawan perusahaan outsourcing dengan perusahaan outsourcing harus dicantumkan penegasan bahwa Perusahaan Penyediaan Jasa Pekerja (PPJP) bersedia menerima pekerja dari PPJP sebelumnya, untuk jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, bila terjadi pergantian PPJP atau status karyawan outsourcing adalah karyawan TETAP (PKWTT) dari PPJP. Konsekuensi bila ketentuan ini tidak dipenuhi maka karyawan outsourcing yang ditempatkan di Perusahan Pengguna (pemberi pekerjaan) akan menjadi Karyawan TETAP dari Perusahaan Pengguna
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini tidak hanya memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan, tapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya. Karena masa kerjanya akan terus diperhitungkan sehingga kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya
Ketentuan dalam pasal UU Ketenagakerjaan dan dipertegas dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah "memihak" pekerja outsourcing. Sehingga bila terdapat perusahaan pemberi pekerjaan yang melanggar ketentuan, maka pekerja outsourcing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai sengketa hak. Bila gugatannya dimenangkan, maka konsekuensinya pekerja outsourcing tersebut akan berubah statusnya menjadi karyawan tetap dari perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing.
Implementasi Sulit
Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap pengusaha dan juga perusahaan outsourcing sangat sulit (bahkan mustahil) dilaksanakan adalah mengenai pengalihan status kepegawaian pekerja outsourcing bila terjadi pengalihan kontrak pekerjaan dari satu perusahaan outsourcing kepada perusahaan outsourcing yang lain. Misal perusahaan A memiliki kontrak kerja dengan perusahaan outsourcing X. Karena kontrak kerjanya telah berakhir, maka perusahan A mengalihkan kontrak kerjanya ke perusahaan outsourcing Y. Salah satu konsekuensinya, seluruh karyawan perusahaan outsourcing X yang ditempatkan di perusahaan A akan beralih menjadi karyawan perusahaan outsourcing Y. Dan yang terpenting adalah ketentuan perusahaan outsourcing Y wajib memperhitungkan (baca : menyambung) masa kerja pekerja outsourcing selama bekerja di perusahaan outsourcing X.
Hal ini tentu membawa konsekuensi kepada perusahaan outsourcing yang mendapat limpahan kontrak kerja karena diikuti dengan limpahan pekerja outsourcing yang masa kerjanya disambung/dilanjutkan (memperhitungkan masa kerja di perusahaan outsourcing sebelumnya). Ketentuan berlanjutnya masa kerja akan membawa ekses pada upah yang harus di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK). Karena UMK hanya berlaku untuk pekerja lajang dengan masa kerja 0 sampai 1 tahun. Juga membawa konsekuensi atas perhitungan Tunjangan Hari Raya (THR), perhitungan pesangon, perhitungan pension, dll.
Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan implementasi pelaksanaan tentang outsourcing telah sesuai dengan ketentuan perundangan. Hanya saja, selama ini pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja masih sangat lemah. Sehingga keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dan mempertegas UU Ketenagakerjaan mengenai outsourcing masih sulit dilaksanakan dalam praktik di lapangan. Permasalahan kualitas pengawas dan terutama sekali sangat terbatasnya kuantitas jumlah pengawas menjadi "pekerjaan rumah" pemerintah pusat dan daerah.
Yang diperlukan sekarang adalah "keberanian" pekerja outsourcing untuk "memperjuangkan" hak haknya dengan cara beradab dan terhormat. Karena sebenarnya peraturan perundangan sudah "berpihak" kepada mereka. Di sisi lain, manajemen perusahaan (pemilik, general manajer dan HRD/SDM manajer) juga diharapkan memiliki komitmen dan kesungguhan mengimplementasikan ketentuan peraturan perundang undangan tentang outsourcing yang berlaku. Dan yang terakhir, para pemerhati dan simpatisan dalam bidang ketenagakerjaan (LSM, akademisi, media serta serikat pekerja/buruh) diharapkan dapat mensosialisasikan serta mengawal implementasi aturan perundangan tentang outsourcing agar dijalankan dan ditegakkan. Kepedulian semua pihak menjadi kunci proses "membersihkan" citra outsourcing di Indonesia.
Penulis adalah praktisi HRD dan Koordinator Forum SDM Bali
Telpon 0361 8724.724
__._,_.___
Milis Hotel Human Resources Managers Association Bali
�~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~�
Anda menerima pesan ini karena Anda tergabung pada grup http://groups.yahoo.com/group/HHRMA-Bali/
Untuk mengirim pesan ke grup ini, kirim email ke HHRMA-Bali@yahoogroups.com
Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke HHRMA-Bali-unsubscribe@yahoogroups.com
�~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~�
�~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~�
Anda menerima pesan ini karena Anda tergabung pada grup http://groups.yahoo.com/group/HHRMA-Bali/
Untuk mengirim pesan ke grup ini, kirim email ke HHRMA-Bali@yahoogroups.com
Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke HHRMA-Bali-unsubscribe@yahoogroups.com
�~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~�
.
__,_._,___
0 comments: Responses to “ {HHRMA~Bali} ISU OUTSOURCING DI HARI BURUH ”